4/14/2009

Ketika Toilet Menjadi Singgasananya

Sesuatu t’lah dari tadi mendesak pantatku dari dalam. Aku sampai berkeringat dingin menahan sesuatu itu. Entah sampai kapan aku mampu mempertahankan pertahananku sampai akhirnya celana dalamku terbercak noda kunig. Aku menelan ludah, menahan cemas.
Profesionalisme kerja memaksaku untuk melanjutkan laju kendaraanku dan merelakan seseatu semakin ganas menyodok-sodok bagian bawahku itu. Keringat dingin semakin deras mengguyurku ketika aku sudah seperti tak dapat menahanya. Ingn rasanya aku mengingkari profesionalismeku kali ini. Hanya kali ini. Tapi bagaimana dengan sekitarku??? Apa mereka rela mengorbankan 5 menitnya untuk hajatanku?... Masalahnya dihari senin yang menjelang siang ini, orang-orang sudah ingin sampai di kerajaan masing-masing. Begitupua aku, aku sudah tak dapat menahan hasratku untuk segera menuju singgasana termegahku. Ah, itulah salah satu dari ribuan duka menjadi sopir angkutan kota. Tak ada waktu istirahat, bahkan hanya sekedar berhajat.
Lama aku menanti sampai akhirnya hanya seorang pemuda berseragan putih abu-abu. Dia terlambat lagi. Tapi untunglah sekolahnya tak lebih dari 10 menit perjalanan lagi. Itu berarti hasratku segera tersalurkan. Aku tlah menyiapkan strategi untuk mendapati WC umum terdekat. Tidak, bukan terdekat tapi termungkin sepi.Aku tak mau menunggu lagi. Pilihan kujatuhkan di POM pabuaran. “Ada 3 toilet cowok disana, Nggak butuh waktu lama untuk menyalurkan hasratku” pikirku.
Gedung agak mewah itu membangkitkan energiku.
“Sebentar lagi kau boleh keluar,Su!!!” pekikku
Setelah pemuda itu Turun, aku segera melaju Sangat kencang tanpa ada orang lain selain aku di angkotku. Sesosok bayangan perempuan lengkap dengan keranjangnya, dapat kutangkap dari jauh. Dia melambai tangan tanda ingin ikut denganku.
“Peduli apa…”
Entah bagaimana nasibnya berikutnya. Dia mengumpatku. Ah, ini dosa besar buatku.
Jika aku mendahulukan profesionalismeku, banyak rupiah kuraup pagi ini. Karna ada banyak perempuan-perempuan lain yang juga menginginkanku.
”Sialan... ini gara-gara kau, Su!!!” entah, aku mengumpat siapa.
Puluhan orang kutolak sampai nenek-nenek itu ikut-ikutan trend , melambai padaku. DILEMA. Hajat atau kemanusiaan yang harus kudulukan?!!
Akhirnya, dengan kalkulasi yang teliti, rasa ibaku menang telak.
”Baturraden ya dek. Pasar” nenek itu dengan santai, enteng, tenang duduk di sebelahku.
Busyeeeet... Jauh melampaui Pabuaran sebagai incaran awalku menerima sumbangan sesuatuku. Aku harus menyusun ulang strategi. Keputusan di terminal Baturraden. Tapi pantatku menolak mentah-mentah. Pasti ramai dipagi hari yang menjelang siang ini. Dipasar? Aku harus mengeluarkan uang kebersihan. Kali ini, dompetku yang tak merestui. Ditempat wisata?. Artinya aku harus membayar tiket masuk ke loka wisata... Akhirnya dengan mantap kuputuskan untuk menjadikan rumah Amat -kenalanku- sebagai sasaran baru. Gratis, dan tak perlu antri.
Aku hanya mampu memandangi sambil tetap berkonsentrasi ke muka ketika melewati POM pabuaran sebagai target awalku.
”Oh no...Targetku meleset...”batinku menjerit
Aku tak mungkin tancap gas seperti saat aku sendiri. Meski sesuatu itu semakin kejam menyiksaku. Aku membawa orang tua yang (siapa tau) jantungan.
Hufh... Aku menahan nafas agar sesuatuku itu tak lahir prematur. Tapi aku tak tahan. Ingin rasanya menarik pasar baturraden mendekat dan melemparkan nenek ini. Tapi ternyata, itu tak perlu kulakukan. Karena sesaat kemudian, Tuhan, pasar baturraden dan nenek itu seakan paham penderitaanku.
”Sudah dek, disini saja” nenek tua itu terbata-bata.
Terimakasih Tuhan... Kau mendengar rintihanku. Dan ajaibnya, beliau menghentikanku tepat didepan rumah Amat. Aku berjalan mengikuti nenek tua itu. Lebih ajaibnya lagi, kita ternyata satu tujuan. Dan celakanya, benar-benar satu tujuan..TOILET yang hanya ada satu di rumah itu. Setrum seakan menyengatku. Aku harus benar-benar mengatur nafas dan menahan sesuatuku lagi...Cobaan apa lagi ini???
”Tunggu aja bang, sebentar. Itu ada cemilan, jangan sungkan-sungkan” Godaan itu... Aku tak mungkin menambah volume perutku. Dia bakalan semakin mendesak. Dan lahir prematur. Itu kabar buruk. Apa jadinya aku hari ini?. Akhirnya,dengan seribu pertimbangan, kuputuskan untuk pamit menuju sasaran awalku.
Aku menancap, tapi tetap tajam. Menuju POM pabuaran dengan tetap menahan nafas. Berjuang untuk tak membiarkan sesuatuku makin ganas menyodok. Ini perjuangan amat berat. Sampai akhirnya, sampailah aku di POM pabuaran. Lama aku mencari singgasanaku disana. Aku mendadak amnesia. Atau pikun? Entahlah...
Dan kabar mengejutkan datang dari bapak-bapak yang kutanyai dimana letak toilet. Karena ternyata, di POM pabuaran tak pernah ada toilet. Oh... Butuh injury time untuk mengeluarkan yang menyodokku sedari tadi.
Aku harus mencari tempat pelarian. Dan kampus Unsoed lah yang beruntung. Aku segera memarkirkan angkotku ditempat yang tak semestinya. Satu lagi dosaku, karna aku tlah membuat satpam itu mengumpat padaku. Dan Unsoed mengganjarku dengan terkuncinya toilet pertama. Oh my god... Toilet kedua bertuliskan ”WC rusak” dengan kertas seadanya. Oh no... Dan hanya toilet ini yang menjadi harapanku. Kuputar engsel. Ups... Seorang kecil sedang menempati singgasanaku ditemani seorang lelaki. Si anak jongkok, persis seperti apa yang ingin kulakukan saat ini.
Untungnya sang ayah tlah siap menceboki. ”Cepet, Pak!!!” kata-kataku tertahan. Nafas harus tetap kujaga agar dia benar-benar tak lahir prematur. Ingin kugedor dan kumaki keleletan mereka. Tapi itu dosa.
Akhirnya, secercah cahaya menimpaku. Dan manusia itu tersenyum sok manis padaku.
Segera kuserobot pintu, dan aku segera jongkok bersiap membuka celana. Oh... Pintu itu belum sempat tertutup rapat. Aku harus menundanya lagi. Butuh waktu untuk melakukan 3 langkah kepintu dan menguncinya. Dan kemudian jongkok lagi. Kuputuskan untuk kubiarkan. Karena kurasa sesuatuku itu sudah tak sabar ingin menghirup udara bebas.
Dan saat itu terlahir juga. Aku sudah telanjang bawah. ”Itu” sepertinaya sudah diujung anusku. Tapi... Gedoran pintu itu, sunguguh mengagetkan dan mempermalukan dia. Hingga dia masuk lagi keperutku. Oh... Aku harus menahan lebih lama lagi. Butuh sesuatu untuk menutupi bagian bawahku agar tak terlihat oleh sialan itu.
Celaka... Dia satpam pengumpat tadi.Umpatan selanjutnya, meledak didepan singgasanaku.
”Pindahkan angkotmu segera, atau kubakar ?”
Lagi-lagi aku harus menunda sesuatku itu untuk waktu yang cukup lama. Karena security sialan itu mengharuskanku memindah angkotku, atau aku harus rela membayar angkot majikanku hanya karena sesuatu sialan ini.
Aku segera memakai celanaku dan menuju depan pos satpam dengan tertatih dan agak jongkok. Karena aku tak mau tiba-tiba sesuatu itu keluar tanpa permisi.
Kupindahkan angkot ’Sumber Rejeki’ ku dengan tersiksa. Sungguh baru kali ini aku merasa tersiksa mengendarai angkotku. Karna biasanya aku sangat bersemangat. Tersiksa
Selesai memarkirkan di tempat semestinya, aku segera menuju singgasanaku untuk melanjutkan kenikmatan tertundaku.Untungnya, tidak ada orang lain menyerobot lahanku. Dan akhirnya, aku dapat menyinggahi singgasanaku lagi tanpa gangguan.
Lama aku menanti sesuatuku itu keluar tanpa paksa. Dari ragaku.
”Cepat keluar, Brengsek!!!” aku menggerutu untuk kesekian kalinya. Satu jam telah berlalu. Orang-orang diluar meributkanku.Sampai akhirnya, detkik-detik itu datang. Dia benar-benar telah diambang pintu anusku. Seperti seorang ayah menunggui kelahiran anak pertamanya yang lahir normal dari rahim istri tercintanya. Dalam detik-detik penantian itu, kuyakin wajahku merona, tapi gugup, tegang, semua rasa jadi satu.
”Preeeeeeeet”
Suara itu kuanggap sebagai pembukaan pertama. Disusul pembukaan-pembukaan berikutnya yang bernada sama.
“Bayiku, cepatlah keluar, Nak. Aku sudah tak tahan” Kali ini aku hampir menangis. Sampai ”pret” rendah dan pendek itu keluar. Dan seketika, hasratku sepert t’lah tuntas tersalurkan.
”Mana sesuatuku???” tanyaku pada diriku sendiri.
Ternyata, sesuatu yang sedari tadi menyodok-nyodokku, membuat aku menambah dosa dan menghilangkan rupiahku. Ternyata, hanya serentetan angin yang tlah lama bergumul diperutku....

Tidak ada komentar: