3/30/2009

LIMA BELAS RIBU

“emak…”
“mak…”
“mak,”
Wanita setengah baya itu tetap terpejam
“mak…”
Lelaki kecil itu, merengek
“ibu guru nagih lagi…
Ibu guru minta uang
Lima belas ribu katanya.
Mak…
Mak,
Emak…”
Bocah itu tak mau tahu. Dia menggoyang-goyangkan tubuh wanita yang masih rapat terpejam…
“mak, teman-temanku yang lain rutin ngasih amplop ke ibu guru.
Titipan mama kata mereka.
Tapi aku,
Aku,
mmm…
Mak…”
Lelaki itu meragu. Haruskah dia mengeluh ? tapi tak apa, emak kan… sedang tidur… bisiknya kepadaku.
“aku ingat,
Terakhir, aku dititipi amplop sama emak
mmm…
pas aku terima hadiah dari bu guru.
Ia benar, waktu itu aku dapet buku sama pinsil dari bu guru.
Kata beliau, aku juara kelas.
Aku senang mak…
Bukunya, disimpen emak. Buat nulis di kelas dua. Pensilnya juga…
Emak inget kan ???”
Sumringah… wajahnya berseri-seri ketika menceritakan prestasinya.
“oh iya mak,
Kata ibu guru, mulai besok aku harus lebh semangat belajar.
Biar aku naik kelas dua. Biar aku bisa menjadi juara lagi.
Dapet buku lagi,
Dapet pensil lagi.
Buat kelas tiga…
Iya kan mak…”
Bocah itu tetap memelihara seri di wajahnya. Sang emak, dari matanya bergulir setetes air…
“aku mau belajar mak,
Mau…”
Kaki mungilnya hendak beranjak, tetapi terhenti…
“Tapi mak, besok emak nitipin amplop buat bu guru ya ?
Aku malu,
Aku nggak enak sama bu guru.
Aku kasian sama bu guru.
Setiap aku datang, bu guru marogoh saku dan tasku lalu bertanya…
Apa orang tuamu tak menitipkan sesuatu untuk ibu ?
Aku cuman bisa menggeleng. Ibu guru kelihatannya kecewa…”
Bocah itu terduduk kembali. Wajah putihnya menampakkan sedih…
Wanita itu, ah… entah, bagaimana hatinya. Yang terlihat matanya masih kuat terpejam.
“mak, mak…
Lima belas ribu itu, seberapa sih ???
Cukup nggak kalo adek jual mobil-mobilan yang dibuatin abang ini”
Ronanya kembali bersemi. Mobil-mobilan itu ditangannya kini. Mobil kayu, yang sudah… maaf, bau tanah.
Wanita itu, tangan dan kakinya bergerak.
Dari matanya meleleh air yang cukup deras kini…
“tapi…
Nanti adek mainan apa saat teman-teman adek main mobil ajaib mereka ?
Ah…
Adek bingung…”
Ronanya memudar…
“mak,
Adek nggak jadi mau minta mobil-mobilan ajaib deh. Adek mau minta uang lima belas ribu saja. Biar adek nggak malu sama ibu guru. Biar adek nggak melihat ibu guru sedih lagi…
Ya mak ???”
Tangannya tak berhenti memajumundurkan mobil-mobilannya. Matanya asyik bermain bersama mobil itu, mungkin imajinasinya sedang melayang jauh…
Emak, wanita itu…
Wajahnya semakin basah, dia sempat membuka mata. Tangannya melayang-layang. Hendah meraih bahu anaknya. Tapi semakin dekat, tangnnya semakin lemah, dan terjatuh sebelum sampai di tujuannya.
Anak lelaki itu, memarkirkan mobilnya kemudian. Tepat di sebelah kiri wajahnya kalau dia menidurkan kepalanya dibantal itu. Dia mendesak-desak kekiri emaknya. Kemudian tangannya membentuk formasi berdoa.
“ya allah, semoga besok ibu memberikan amplop titipan buat ibu guru… amin…”
Doa anak itu sebelum kemudian kepalanya bersandar pada bantal tipis. Tubuhnya menggeser-geser tubuh emak. Dia berbaring diantara tembok dan tubuh emak. Sempit. Tapi matanya bisa terpejam perlahan. Wanita itu sedikit memperbaiki posisi tidurnya.
Anak itu gelisah.
Tenggor kiri, tenggor kanan.
Membuat ibunya harus menghimpun tenaga agar tubuhnya tak tergeser lalu jatuh ke tanah lantai rumah itu.
Anak itu membuka mata.
Bergeser, terpejam, bergeser lagi, membuka mata, bergeser, terpejam.
Terus berulang.
Sampai dia menemukan ide.
“aha…
Atau aku minta bapak saja ya…
Iya, bapak pasti punya lima belas ribu…”
Si bocah tak bisa terpejam, memikirkan lima belas ribu.
Dai lalu melangkahi melawati tubuh emak, lalu turun dari ranjang.
“jangan nak…
Jangan ganggu pikiran bapakmu.”
Entah mengapa beliau tiba-tiba berani membuka mata. Matanya masih basah. Suaranya tak lancar.
Anak itu mendiamkan langkahnya.
“Beliau sedang sakit.
Kasihan bapak…
Bapak sudah tak lagi bekerja.”
Eajah emak makin basah. Bahkan kain penutup kasur tipis merekapun basah oleh air yang sama.
Anak itu masih membalikkan pandangannya. Tak lepas memendam emak. Tertegun.
“Nanti, emak jual kain sama baju emak…
Biar adek bisa ngasih amplop ke bu guru secepatnya. Tapi tidak besok…
Ya???”
Emak tersenyum, sementara matanya, tetap berderai air mata.
Anak kebanggan emak masih tertegun.
Anaknya emak melangkah perlahan. Hati-hati. Matanya tak lepas memandang sosok wanita itu. Matanya berkaca. Tapi, wajahnya terjaga serinya. Dari bibirnya tersungging senyum. Dia menekati emak. Tangannya memformasikan sebuah pelukan.
“emak….”
Anak itu seperti ditiupkan jiwa. Serta merta, dia berlari menubruk eak yang masih berbaring lemah dengan pelukan.
Mereka tergugu, menangis, bahagia, dari matanya bergulir air dengan derasnya. Mulutbya bergetar, namun tersebyum…
“akhirnya emak bangun. Emak sembuh…
Mak, jangan tidur lagi.
Emak tidur lama kemarin.
Adek takut.
Emak jangan tidur lagi…”
Anak itu berucap dengan mulut yang terjaga getarannya.
“emak nggak akan tidur, emak akan bekerja mencari ima belas ribu…”
Emak tak kalah haru,
Emak tak kuasa menahan getaran di rahangnya
“nggak usah mak,
Kata ibu guru, adek dapet beasiswa.
Malah, adek dapet tas baru, sepatu baru, buku baru, pensil baru, seragam baru.
Adek seneng mak. Apalagi ada gambarnya.
Oh iya, adek punya tabungan. Nanti kalau udah dapet banyak, buat beli obatnya emak. Ya???
Biar emak nggak keseringan tidur.
Adek kesepian, Mak…”
Ronanya tak mau bersembunyi. Bahagia benar-benar telah merajai jiwa lelaki kecil itu. Senyumnya tulus…
Emak hanya bisa menerima pelukan lelaki itu, lelaki tujuh tahun.
Di raut wajahnya ada kebahagiaan, kebanggaan, haru… semua terekam dari air mata…
Mereka bahagia…
Ah, enggak…
Mungkin emak sedang kalut, takut tiba-tiba harus meninggalkan adek sendiri di istana mereka…

Tidak ada komentar: